PASAMAN BARAT, Kabar60 – Penanaman pohon kelapa sawit di pinggiran sungai atau di Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu aksi kejahatan terhadap lingkungan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sepadan sungai harus ada bufferzonenya atau penyanggah sungai.
“Bagi yang menanam kelapa sawit di pinggir sungai itu tidak boleh, apalagi sekelas perusahaan besar seperti PT. Bakrie Pasaman Plantations (BPP) Air Balam. Yang mana, seharusnya menjadi cintoh bagi masyarakat banyak,” kata Ketua LSM TOPAN RI, Arwin Lubis, kepada wartawan di Air Balam, Selasa (14/2/2023).
Menurut Arwin Lubis, pelarangan menanam sawit atau tumbuh-tumbuhan yang menyerap air di bufferzone sudah diatur dalam peraturan pemerintah, yang mana 100 meter sungai besar dan 50 meter sungai keci. Itulah jarak yang bisa dilakukan penanaman berupa kelapa sawit.
“Menurut kami, sungai batang sikerbau yang terletak di tengah kebun inti PT. BPP Air Balam itu termasuk kategori sungai sedang. Karena bentang sunagi tersebut lebih kurang 40 meter,” terangnya.
Dari pantauan dilapangan, sawit milik perkebunan PT. BPP itu persis berada di DAS Batang Sikabau. Malahan ada yang sudah menggantung dibibir tebing sungai akibat abrasi.
“Kita sudah tinjau langsung bahwa sudah banyk tebing sungai yang abrasi. Sehingga tanaman sawit milik perusahaan itu terancam ambruk kesungai. Apakah ini belum termasuk kategori pelanggaran lingkungan, tentu harus dipertanggung jawabkan oleh perusahaan,” tegasnya.
Lebih ditekannya juga bahwa, Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perkebunan Pasaman Barat nampaknya tutup mata saja terkait persoalan DAS PT. BPP ini. Padahal, setiap mau memasuki Pabrik yang ada di PT. BPP pasti kelihatan bekas abrasi yang tidak jauh dari lokasi jembatan.
“Semoga, kedua instansi itu bergerak cepat untuk meninjau lapangan, agar semua persoalan jelas. Dan diminta katakan salah apabila itu memang salah dan katakan benar kalau itu benar,” pintaya.
Sama kita ketahui bahwa, sawit sangat suka dengan air dan bukan penyimpan tapi penyerap. Seperti yang kita alami sekarang ini, yang mana sebentar saja hujan sudah pada banjir dan sebentar saja musim kemarau sudah pada kelihatan disekitar lingkungan kita kering berontang.
“Secara kasat mata kita saja, sangat besar buruknya dengan kelapa sawit. Yang mana, sawit itu penyerap bukan penyimpan air. Sehingga, tebing sungai itu mudah kering dan terjadilah abrasi,” pungkasnya.
Kita selain dari LSM juga sebagai masyarakat Pasaman Barat meminta kepada DLH Pasaman Barat agar mengkroscek kembali AMDAL dan kepada dinas perizina agar mengkrocek segala izin yang dimiliki PT. BPP, karena diduga tidak memaruhi PP Nomor 38 Tahun 2011.
“Sepengetahuan kita, PT. BPP memperoleh Profer Biru sampai dengan tahun 2025. Juga sekarang sesuai info yang didapat bahwa sedang ada audit RSPO dan ISPO. Semoga apa yang didapat oleh perusahaan itu benar-benar di perikaa oleh dinas terkait,” pintanya dengan tegas.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pasaman Barat, Armi Ningdel saat dikonfirmasi mengatakan bahwa pihaknya sudah membahas terkait DAS itu, namun sekarang kita sedang fokus dalam limbah yang menebar di area pabrik mereka, baik itu limbah calsium, limbah bekas janjangan kosong maupun yang lain.
“Kita sangat serius dalam menangani kasus lingkungan ini, dalam waktu dekat kita akan kroscek kelapangan sesuai informasi. Dan kita tidak main-main dalam aturan dan itu kita tegakkan sesuai aturan,” sebutnya.
Secara terpisah, Manager Estate PT. BPP, Arif, saat dikonfirmasi dikantornya mengatakan, semua itu sudah ada yang mengurus. Karena kami disini punya tugas masing-masing.
“Lebih jelasnya konfirmasi saja ke manajemen lingkungan yang ada di PT. BPP yang berkantor di Estate PT. BPP Sungai Aur. Tapi yang jelas semua tanaman sawit yang ada di sepadan sungai itu kita produksi atau di panen dan dirawat,” cetusnya. (Bisri Batubara)
